Jurnal
Jurnal Penelitian Politik, Vol. 7, No. 2, Thn. 2010
Semenjak sekitar satu dasawarsa terakhir telah berlangsung sejumlah pembicaraan dan sejumlah pertemuan yang bersifat multilateral maupun bilateral baik di tingkat regional, antar-kawasan, guna mematangkan gagasan tentang pemberlakukan era perdagangan bebas (free trade area/FTA), sebut saja perdagangan bebas APEC, pembicaraan intra-kawasan seperti pasar tunggal Eropa maupun gagasan serupa di kawasan lain, termasuk ASEAN, perjanjian kemitraan ekonomi antara Indonesia-Jepang, maupun pakta perdagangan bebas ASEAN-China.
Dari pelbagai forum yang telah mulai dalam proses, salah satu yang telah rampung dan mulai diberlakukan ialah kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA). Pemberlakukan pasar bebas ini serta-merta bagaikan membangunkan kita dari tidur. Bahwa di satu sisi bagaimana kita dapat memanfaatkan peluang dari permberlakuan tersebut, serta di sisi lain tak pelak terlihat adanya potensi bahaya yang mengancam industri di tanah air kita bila tidak segera berbenah diri dan tidak sanggup bersaing di era perdagangan bebas ini.
Yang menjadi pertanyaan ialah, benarkah pemberlakuan FTA ASEAN-China merupakan ancaman besar bagi Indonesia?
Pembukaan pasar dengan raksasa ekonomi China memang telah membuat gerah banyak industrialis kita, khususnya yang produksinya menjadi andalan ekspor China. Sebut saja di antaranya industri tekstil dan produk tekstil, alas sepatu, elektronika dan alat-alat rumah tangga, serta mainan anak-anak.
Serbuan produk China di pasar global sejak 1990-an kini semakin serius. Indonesia-pun tidak luput. Dapat kita lihat dengan kasat mata di toko-toko modern ataupun pasar tradisional, baik di perkotaan ataupun perdesaan, bahkan daerah terpencil, membanjirnya barang China. Bahkan, pusat-pusat perdagangan tekstil ataupun batik daerah, seperti Pasar Beringharjo di Jogja ataupun Pasar Klewer di Solo, juga tidak luput dari serbuan tekstil ataupun tekstil dengan corak batik dari China.
Di pedesaan permasalahannya lebih problematik lagi. Ketika wilayah pedesaan masih berhadapan dengan masalah kemiskinan yang tidak pernah diatasi dengan serius dan sistematis oleh pemerintah, di sisi lain harus berhadapan dengan proses liberalisasi pasar. Kebijakan makro pemerintah sendiri selama ini memang begitu terkesan tidak berpihak kepada rakyat di pedesan, melainkan lebih berpihak kepada elite penguasa dan juga pengusaha. Sementara di sisi lain, pemerintah juga terkesan lemah atau bisa dikatakan lebih banyak menuruti intervensi asing dalam hal ekonomi. Liberalisasi sektor pertanian dalam kerangka perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah umpamanya tidak dapat dipungkiri justru menyengsarakan petani dan membuat petani semakin terpuruk. Implikasi dari liberalisasi sektor pertanian telah membuat membanjirnya produk-produk pertanian impor di pasaran dalam negeri, bukan hanya di supermarket dan swalayan perkotaan, namun juga membanjiri pasaran tradisional dan pegadang kaki lima, dan bahkan sampai ke wilayah pedesaan. Tekanan produk pertanian impor bukan hanya menjatuhkan harga produk pertanian domestik, melainkan juga telah menggeser preferensi konsumen sehingga tingkat permintaan produk pertanian impor dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Jelas, dalam masalah ini, langkah terpenting yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan daya saing industri lokal Kita mesti lebih sungguh-sungguh di dalam membuat berbagai kebijakan dari pusat sampai daerah untuk mendongkrak daya saing internasional kita. Perlu upaya agar hasil industri kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bahkan bisa menyerbu pasar internasional, hanya dengan itulah kita dapat menyelamatkan nasib industrialis dan pekerja kita dari ancaman kebangkrutan.
Pakta perdagangan bebas suka tidak suka telah datang, dan kita harus siap menyongsongnya. Bila ingin menang dalam era ini, maka produktivitas merupakan kuncinya. Produktivitas itu berarti efisien dalam segala hal, baik sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang dimiliki. Pengusaha harus mempertimbangkan keinginan konsumen, melakukan identifikasi keunggulan orang lain dengan meninggalkan kekurangannya. Selain itu, perusahaan harus memiliki ciri khas yang membedakan dari perusahaan lain, lalu pengusaha harus mempertahankan hasil yang sudah dicapai selama ini untuk ditingkatkan. Dengan kerja keras dan tekad yang besar serta dukungan dari semua pemangku kepentingan, kita mungkin masih bisa sedikit optimistis bahwa Indonesia masih memiliki kemampuan untuk berjuang di arena ekonomi global. Indonesia harus optimistis untuk bisa memenangkan "peperangan" ini. Kita mungkin harus menganggap kebaikan di balik datangnya era ini, yakni saatnya kita untuk bangun dari tidur dan tidak lagi bersikap memanjakan diri.
Mengingat pentingnya permasalahan di atas maka Jurnal Penelitian Politik kali ini hadir dengan mengangkat tema tentang "Peluang Indonesia dalam Perdagangan Bebas". Kami menyajikan semjumlah tulisan terkait dengan tema tesebut.
Dalam artikel "Indonesia di Tengah Kesepakatan ACFTA", Lidya Christin Sinaga, memperlihatkan walaupun perjanjian perdagangan bebas dengan China dalam skema ACFTA bukanlah perjanjian perdagangan bebas yang pertama bagi Indonesia, namun perjanjian perdagangan bebas dengan China dirasa membawa dampak yang lebih nyata seiring membanjirnya produk-produk China di pasar Indonesia. Sifat kompetitif dibanding komplementer di antara keduanya menjadikan industri dalam negeri, terutama sektor UKM di Indonesia menghadapi tantangan yang sulit dan nyaris terpuruk. Belum lagi ditambah kondisi beberapa sektor industri, terutama tekstil yang belum pulih benar akibat krisis ekonomi 1997. Kondisi ini belum lagi ditambah dengan ketidaksiapan infrastruktur Indonesia yang akan menopang efektifitas dan efisiensi produksi, seperti jalan, pelabuhan dan listrik; sistem birokrasi Indonesia yang masih berbelit-belit dan belum dibenahi, hingga suku bunga perbankan yang masih tinggi dan belum mengalir ke sektor manufaktur, di mana kredit masih mengalir ke sektor konsumsi yang berbasis investasi jangka pendek. Semua masalah nampaknya bermuara pada kondisi domestik Indonesia sendiri yang masih rapuh.
Sementara itu, Trias Palupi Kurnianingrum, dalam artikel berjudul "Pentingnya Ratifikasi Madrid Protocol dalam Menghadapi Perdagangan Bebas di Era Globalisasi" melihat bahwa pada era globalisasi saat ini yang ditandai dengan masuknya Indonesia ke dalam free trade area, sejalan juga dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia telah menyebabkan peranan merek menjadi sangat penting. Di dalam bidang HKI kesamaan barang dan jasa yang diperdagangkan lintas negara memerlukan adanya konsep dan standar hukum perlindungan yang sama. Inilah yang mendasari pentingnya ratifikasi Madrid Protocol bagi Indonesia khususnya dalam menghadapi tantangan free trade area dewasa ini, karena perlindungan atas merek sangat dibutuhkan, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang fair dan mencegah timbulnya plagiat.
Dalam tulisan lain, "ASEAN FTAs dan Liberalisasi Perdagangan Jasa: Tantangan Jasa Tenaga Kerja bagi Indonesia", Tri Nuke Pudjiastuti menekankan bahwa dalam liberalisasi perdagangan jasa tenaga kerja, menjadikan tenaga kerja Indonesia harus diperlakukan secara komprehensif; di mana tidak hanya mampu memperebutkan peluang pasar kerja di dalam negerinya, namun juga memperebutkan peluang pasar kerja di luar negeri. Adanya FTAs membuat Indonesia tidak dapat hanya tergantung pada pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian yang ditawarkan dalam skema investasi asing maupun lokalnya, tetapi besarnya perhatian negara atas peningkatan kemampuan dan kompetensi sumber daya manusianya, akan menjadi keunggulan kompetitif. Perbaikan peraturan dan implementasinya atas pedagangan jasa tenaga kerja di Indonesia menjadi hal yang mutlak dilakukan dengan didasari para upaya membangun kedaulatan tenaga kerja Indonesia pada percaturan pasar tenaga kerja dalam negeri maupun internasional.
Pada edisi kali ini kami juga menurunkan artikel yang terkait dengan APEC dan AFTA. Awani Irewati dalam tulisannya berjudul"Prospek dan Problematika Pelaksanaan APEC" melihat bahwa, meski dipandang kurang menghasilkan keluaran yang signifikan, APEC tetap memiliki ruang tersendiri di tengah maraknya bentuk-bentuk kerja sama dalam wujud FTA. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu pertama adanya FTA-FTA ini bisa memperlemah eksistensi APEC, kedua, sebaliknya, FTA-FTA ini bisa menjadi batu loncatan bagi APEC untuk semakin kuat dari dalam Asia Pasifik. Yang terakhir jelas diharapkan dapat terjadi. Di tengah kekurangan yang dihadapi APEC, konferensi tingkat tinggi APEC setiap tahun sesungguhnya menjadi kekuatan sekaligus peluang yang positif bagi APEC untuk mempertemukan dua kelompok berbeda, yakni negara maju dan negara berkembang, kelompok Asia dan kelompok Pasifik.
Sementara itu, dalam artikel "Prospek dan Problematika Pelaksanaan AFTA", Ratna Sofi Inayati, mengemukakan bahwa pada kenyataannya, perdagangan bebas dalam kerangka AFTA yang sudah dimulai sejak 1992 masih belum juga mendongkrak tingkat perdagangan intra-ASEAN yang relatif kecil dibanding perdagangan total ASEAN. Ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea-cukai. Persoalan lain yang sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT (Common Effective Preferential Tarriff) di kalangan swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme penyelesaian masalah perdagangan. Rencana penerapan AFTA sendiri lebih banyak dipahami para pengusaha besar, sementara sosialisasi terhadap para pengusaha UKM sangat minim. Karenanya, saat AFTA mulai berlaku efektif banyak UKM yang merasa terjepit. Begitulah kondisi umum dunia usaha di Indonesia terkait rencana penerapan zona kerja sama ekonomi di kawasan negara-negara ASEAN. Hanya para pemilik perusahaan besar yang telah menyatakan siap bersaing saat AFTA diterapkan, sebaliknya para pengusaha kelas usaha kecil akan sangat kesulitan.
Dalam tulisan oleh Rudi Helmanto berjudul, "Transformasi Budaya Agroforestri Lokal dalam Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas" diperlihatkan bahwa transformasi unsur budaya agroforestri yang berharmoni dengan alam memberikan peluang kepada petani kita untuk sukses menghadapi kesepakatan perdagangan bebas yang sudah dimulai.
Redaksi berharap hadirnya Jurnal Penelitian Politik ini bisa disambut baik oleh para pembaca Akhir kata kami ucapkan selamat membaca.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain