Text
Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Era Digital
Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender (gender based violence) yang didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerusakan atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis; termasuk ancaman dengan tindakan tertentu, pemaksaan, dan berbagai perampasan kebebasan. Kekerasan seksual tidak hanya dapat berupa kekerasan langsung/fisik, melainkan juga dapat berupa kekerasan tidak langsung yang secara kultural dan struktural disebabkan adanya stereotype tertentu terhadap korban. Oleh karena itu kekerasan seksual dianggap sebagai salah satu pelanggaran HAM yang paling sistematis dan meluas. Berbagai bentuk kekerasan seksual dapat terjadi kepada perempuan dari segala usia, kalangan, tingkat pendidikan, latar belakang, di desa maupun di kota. Hampir di semua tingkatan masyarakat, perempuan sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual. Di ruang publik atau di ruang privat, dalam relasi personal seperti perkawinan atau pacaran; apakah dilakukan oleh orang terdekat, pasangan, maupun oleh orang asing. Kita tentu masih ingat pada saat angin reformasi berhembus di Indonesia, Kekerasan seksual berkembang mengikuti dinamika teknologi informasi pada era digital ini. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah ada sebelumnya tetap dapat ditemukan, bahkan semakin bervariasi, sesuai dengan media sosial yang digunakan. Kekerasan seksual di dunia maya tersebut merugikan korban. Dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hak pelindungan terhadap data pribadi telah dijamin dan terdapat larangan terhadap tindakan yang merugikan pemilik data pribadi. Namun demikian tidak terdapat aturan yang secara khusus melindungi korban kekerasan seksual di dunia maya, sehingga dalam banyak kasus, lemahnya pelindungan terhadap data pribadi tersebut menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Tidak jarang pasal-pasal yang ada dalam UU ITE justru digunakan untuk mengkriminalisasi korban. Terdapat 2 faktor yang menjadi akar masalah kekerasan seksual. Pertama, faktor individu yang merupakan aspek psikologi pelaku, dan kedua, aspek sosial yang lebih merupakan aspek budaya yang dianut oleh masyarakat. Dengan demikian pencegahan terjadinya kekerasan seksual dapat dilakukan melalui perubahan mindset berpikir individu maupun masyarakat yang dilakukan melalui lembaga keluarga maupun institusi pendidikan. Dari perspektif psikologis, sikap permisif terhadap pelecehan seksual dapat terbentuk melalui beberapa karakter. Menurut Hendriksen (2017) pelaku pelecehan seksual mempunyai empat jenis karakteristik psikologis, yaitu the dark triad, moral disenggagment, lokasi kerja yang didominasi laki-laki, dan sikap kasar terhadap perempuan. Sikap permisif terhadap tindakan pelecehan seksual juga dapat dilihat dari perspektif pembelajaran sosial. Pelecehan seksual sebagai sebuah tindakan seharusnya diberikan penilaian yang negatif.
Tidak tersedia versi lain