Text
Desa Swabina, Petani Merdeka: Pancasila sebagai landas pacu merdesa
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, berikut peraturan anak-cucunya, bagi kebanyakan desa di Indonesia, walaupun dapat dikatakan sudah lebih maju, setidaknya dalam pembagian keuangan dan inisiatif penguasa lokal, dibanding tahun-tahun sebelumnya, masih menyimpan kerapuhan. Yakni, akan selalu menyisakan persoalan fundamental, yang terkait dengan eksistensi petani kecil, nelayan kecil, dan masyarakat adat, serta perempuan dan generasi muda. Reforma agraria lebih luas dari redistribusi tanah, masih termangu dan hanya tersandera tambal sulam. Di Jepang (1946), Taiwan (1953), dan Korea Selatan (1950), reforma agraria relatif sudah tuntas. Atas fondasi itu, pembangunannya lebih maju dan menyejahterakan rakyatnya. Sebagai mandat dari UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, reforma agraria adalah conditio sine qua non dari rakyat merdeka. UU tersebut merupakan pengejawantahan dari preambule UUD 1945 berikut kelima sila Pancasila, yang penjabarannya tertuang sebagai Pasal 33 Ayat (1-3). Jadi, hal itu merupakan diktum kemerdekaan semua warga negara Indonesia, sampai yang fakir dan miskin dipelihara oleh negara, yang butuh sarana penghidupan dijamin dengan pekerjaan layak, dan yang ada dalam bahaya dilindungi kehadiran negara. Semua membutuhkan keadilan agraria. Maka, segala bentuk monopoli, konsentrasi, estat, latifundium agraria, termasuk lumbung pangan dan energi ala MIFEE dan Kalimantan Tengah yang meniadakan petani, tidak dapat dibenarkan, baik oleh negara tanpa alasan terselenggaranya bonum commune, apalagi oleh swasta demi profit semata. Mengacu pada traktat A.V. Chayanov, Teori Ekonomi Keluarga Petani dan Teori Ekonomi Kooperasi, yang ditaruh dalam konteks insight “Rekonstruksi Desa” ala J.H. Boeke serta praktik sketsisnya di empat tempat di Indonesia, buku ini hendak menyampaikan pesannya.
Tidak tersedia versi lain